Selasa, 06 Juli 2010

Multidimensionalisme Kemiskinan

Sepanjang Abad 20 sampai dengan saat ini, kemiskinan masih merupakan salah satu masalah paling serius di belahan dunia manapun baik itu di negara-negara maju maupun negara-negara berkembang. Menurut Zastrow (Suharto,2008:239) di Amerika Serikat, salah satu negara industri maju dan terkaya di dunia, lebih dari 36 juta jiwa atau sekitar 14 persen dari total populasinya ternyata masih hidup di bawah garis kemiskinan. Dengan kata lain, sekitar satu dari dari tujuh warga Amerika adalah miskin. di sisi lain gambaran kemiskinan di negara berkembang jauh lebih suram lagi. saat ini, diseantero jagat terdapat sekitar 2,8 milyar orang yang hidup kurang dari 2 Dollar AS per hari. Seorang bayi perempuan yang lahir di Jepang saat ini memiliki 50 persen kemungkinan untuk menatap abad ke-22, sedangkan 1 (satu) dari 4 (empat) bayi yang baru lahir di Afganistan kemungkinan besar tidak akan pernah merayakan ulang tahunnya yang 5 (kelima). Setiap hari lebih dari 300.000 anak-anak diseluruh dunia wafat, tepatnya ‘dipaksa’ wafat, oleh penyakit yang bisa dicegah dan hampir 40.000 orang terinfeksi HIV/AIDS. Sebagian besar dari mereka berasal dari negara-negara berkembang. Beranjak dari kondisi-kondisi tersebut, dapat dikatakan permasalahan kemiskinan merupakan suatu permasalahan yang krusial dimana, keberadaanya bukan merupakan sesuatu hal yang baru melainkan sudah ada sejak lama dan masih ada disekitar kita sampai saat ini.

Sejalan dengan keberadaan kemiskinan tersebut, berkembang pula pembahasan-pembahasan terkait dengan konsep-konsep kemiskinan. Secara umum walaupun pembahasan-pembahasan terkait dengan permasalahan kemiskinan sudah sejak lama ada dan berkembang, namun sampai saat ini belum ditemukan satu definisi yang secara konprehensif menggambarkan kemiskinan tersebut secara lengkap. Hal ini karena kemiskinan itu sendiri yang bersifat multidimensional, sehingga dalam menjelaskan fenomena kemiskinan juga menggunakan pisau analisis dari berbagai dimensi. Hal ini sejalan dengan pandangan Suharto (2009:132) yang menyatakan bahwa kemiskinan merupakan konsep dan fenomena berwayuh wajah, bermatra multidimensional.

Apabila dilihat dari dimensi karakteristik yang melekat pada kemiskinan tersebut dapat disebutkan bahwa masyarakat miskin umumnya lemah dalam kemampuan berusaha dan mempunyai akses yang terbatas terhadap kegiatan sosial ekonomi, pendidikan, maupun kesehatan (Suparta, dkk, 2009:193). Pandangan tersebut secara tidak langsung menggambarkan bahwa kemiskinan tersebut identik dengan ketidak berdayaan dan ketiadaan akses. Disisi lain, Chambers (dalam Soetrisno, 1997:18) setelah mempelajari berbagai masalah kemiskinan, akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa inti dari masalah kemiskinan terletak pada apa yang disebutnya sebagai deprivation trap atau jebakan kekurangan. Lebih lanjut, Chambers menjelaskan bahwa deprivation trap itu terdiri dari 5 (lima) ketidak beruntungan yang melekat dalam kehidupan keluarga miskin, yaitu: (1) kemiskinan itu sendiri; (2) kelemahan fisik, (3) keterasingan; (4) kerentanan dan (5) ketidak berdayaan. Dari kelima poin tersebut Chambers memberikan tekanan pada dua jenis ketidak beruntungan yang menurutnya harus mendapat perhatian, yakni kerentanan (vulnerability) dan ketidak berdayaan (powerless). Ini karena kedua jenis ketidak beruntungan ini seringkali menjadi penyebab keterpurukan keluarga miskin yang lebih parah dan akut. Dari konsep-konsep kemiskinan yang terkait dengan karakteristik yang melekat pada kemiskinan sebagaimana dikemukakan oleh Suparta, dkk, Chambers tersebut dapat disimpulkan bahwa kemiskinan merupakan suatu permasalahan sosial yang ditandai dengan kerentanan (vulnerability), ketidak berdayaan (powerless) dan ketiadaan akses.

Dari sudut yang lain, fenomena kemiskinan dapat kita tinjau dari penyebab yang memunculkan kondisi kemiskinan itu. Berdasarkan penyebabnya, kemiskinan dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori yaitu: (1) kemiskinan natural; (2) kemiskinan kultural; dan (3) kemiskinan struktural (Baswier, 1999; Saptana dan Darwis (Suparta, dkk, 2009)). Kemiskinan natural adalah keadaan kemiskinan yang disebabkan oleh keterbatasan alamiah, baik pada segi sumber daya manusia maupun sumberdaya alamnya seperti: konsisi geografis yang kering, tandus, kekurangan air, curah hujan yang rendah, sering terjadi bencana alam. Kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh faktor-faktor kebudayaan, yang menyebabkan terjadinya proses pelestarian kemiskinan di dalam masyarakat seperti: kebijakan dengan nilai-nilai sosial budaya yang tidak produktif, tingkat pendidikan yang rendah, kondisi kesehatan dan gizi yang buruk, kurang berkembangnya jiwa kewirausahaan, serta prilaku dan kepribadian secara umum. Sedangkan kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh faktor-faktor buatan manusia seperti: (1) Kurangnya demokrasi, sehingga mengurangi partisipasi, (2) kurangnya akses dan kontrol terhadap sumberdaya, (3) ketimpangan akumulasi dan distribusi asset produktif baik lahan maupun modal, (4) kebijakan berorientasi memenuhi pasar asing dari pada pasar domestik, (5) pengikisan peran pemerintah dalam meminimalkan ketimpangan sosial dan swastanisasi yang berlebihan, (6) ekploitasi berlebihan terhadap SDA yang berdampak kepada orang miskin, dan (7) kebijakan-kebijakan yang menyebabkan polarisasi masyarakat.

Memandang penyebab kemiskinan hanya dalam 3 (tiga) kategori sebagaimana disebutkan diatas tentunya akan menyebabkan kemiskinan terkurung dalam pandangan simplistik karena dalam kenyataannya kemiskinan disebabkan oleh banyak faktor yang saling kait mengkait. Sejalan dengan karakter multidimensional dari kemiskinan, dengan menggunakan perspektif yang lebih luas David Cox seorang pakar kemiskinan, kemudian membagi kemiskinan kedalam beberapa dimensi, yakni:

a. Kemiskinan akibat Globalisasi. Globalisasi telah melahirkan pemenang dan yang kalah. Yang pemenang adalah Negara-negara maju. Sedangkan Negara-negara berkembang atau dunia ketiga tidak jarang semakin tersisihkan oleh persaingan dan pasar bebas yang menjadi syarat globalisasi.

b. Kemiskinan yang berkaitan dengan pembangunan. Kemiskinan subsisten (kemiskinan karena rendahnya pembangunan), kemiskinan pedesaan (kemiskinan karena marjinalisasi warga di daerah rural pada proses pembangunan), kemiskinan urban (kemiskinan yang diakibatkan oleh hakekat dan akselerasi pertumbuhan kota).

c. Kemiskinan Sosial. Kemikinan yang dialami oleh kaum wanita, anak-anak, dan kelompok marjinal;

d. Kemiskinan Konsekuensial. Hal ini berarti kemiskinan yang terjadi akibat faktor-faktor eksternal di luar kaum miskin. Misalnya jumlah penduduk, konflik, bencana alam, dan kerusakan lingkungan. (Suharto, 2009:132-133).

Sementara itu Ellis (Suharto, 2009:133) menyatakan bahwa dimensi kemiskinan menyangkut aspek ekonomi, politik dan sosial psikologis. Secara ekonomi kemiskinan dapat didefinisikan sebagai kekurangan sumberdaya yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraan sekelompok orang. Sumberdaya dalam konteks ini menyangkut tidak hanya aspek finansial, melainkan pula menyangkut semua jenis kekayaan (wealth) yang dapat meningkatkan kesejahteraan dalam artu luas.

Secara politik, kemiskinan dapat dilihat dari tingkat akses terhadap kekuasaan (power). kekuasaan dalam pengertian ini mencakup tatanan sistem politik yang dapat menentukan kemampuan sekelompok orang dalam menjangkau dan menggunakan sumberdaya. Ada tiga pertanyaan mendasar yang terkait dengan akses terhadap kekuasaan ini, yaitu (a) bagaimana orang dapat memamfaatkan sumberdaya yang ada dalam masyarakat, (b) bagaimana orang dapat turut ambil bagian dalam pembuatan keputusan, dan (c) bagaimana kemampuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan masyarakat. Dalam konteks politik ini Friedman (Suharto, 2009:134-135) mendefinisikan kemiskinan dalam kaitannya dengan ketidaksamaan kesempatan dalam mengakumulasikan basis kekuasaan sosial yang meliputi: (a) modal produktif atau asset (tanah, perumahan, alat produksi, kesehatan), (b) sumber keuangan (pekerjaan, kredit), (c) organisasi sosial dan politik yang dapat digunakan untuk mencapai kepentingan bersama (koprasi, partai politik, organisasi sosial), (d) jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang dan jasa, (e) pengetahuan dan keterampilan, dan (f) imformasi yang berguna bagi kemajuan hidup.

Sedangkan secara sosio-psikologis menunjuk pada kekurangan jaringan dan struktur sosial yang mendukung dalam mendapatkan kesempatan-kesempatan meningkatkan produktivitas. Dimensi kemiskinan ini juga dapat diartikan sebagai kemiskinan yang disebabkan oleh adanya faktor-faktor penghambat yang mencegah atau merintangi seseorang dalam memanfaatkan kesempatan-kesempatan yang ada di masyarakat. Faktor-faktor penghambat tersebut secara umum meliputi faktor internal dan eksternal. Faktor internal dating dari dalam diri simiskin itu sendiri, seperti rendahnya pendidikan atau adanya hambatan budaya. Sedangkan, faktor eksternal dating dari luar kemampuan orang yang bersangkutan, seperti birokrasi atau peraturan-peraturan resmi yang dapat menghambat seseorang dalam memanfaatkan sumberdaya.

Dimensi lain yang juga krusial dalam pembahasan masalah kemiskinan adalah menyangkut persoalan kriteria kemiskinan yang sebaiknya dipergunakan. Sedangkan untuk menentukan kriteria kemiskinan sangat terikat dengan sudut pandang yang dipergunakan dalam melihat kemiskinan itu. Tjokrowinoto melihat kemiskinan sebagai persoalan yang bersifat multidimensional, Molo (1985) mengatakan bahwa kemiskinan adalah konsep yang bersifat relatif, tidak memiliki standard baku. Berbeda dengan kedua pendapat diatas, Townsend (1970) membagi konsep kemiskinan menjadi tiga yaitu: kemiskinan absolut, kemiskinan relatif dan kemiskinan subyektif. Kemiskinan absolut dirumuskan dengan membuat ukuran tertentu yang konkret (a fix yardstick) berorientasi pada kebutuhan dasar. Konsep kemiskinan relatif dirumuskan berdasarkan the idea of relative standard, yaitu dengan memperhatikan dimensi tempat dan waktu, yang berorientasi pada derajad kelayakan hidup suatu masyarakat tertentu. Sedangkan konsep kemiskinan subyektif dirumuskan berdasarkan perasaan kelompok miskin itu sendiri. Dari pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh Tjokrowinoto, Molo dan Townsend tersebut, tampaknya konsep kemiskinan yang bersifat multidimensional lebih sesuai dengan kondisi kemiskinan yang melanda Indonesia dewasa ini. (Sulistiyani, 2004: 32-34).

Berdasarkan pembahasan-pembahasan terkait dengan karakteristik, faktor-faktor penyebab beserta dimensi-dimensi kemiskinan diatas dapat disimpulkan bahwa kemiskinan pada dasarnya merupakan suatu permasalahan yang krusial dan bersifat multidimensional. Multidimensionalisme kemiskinan ini telah menyebabkan tidak adanya satu konsep pasti yang dapat menjelaskan fenomena kemiskinan secara komprehensif. Disamping telah menyebabkan terjadinya perubahan pendekatan dalam memahami kemiskinan. Menurut Darwin (2005:1) pendekatan dalam memahami kemiskinan telah banyak mengalami kemajuan. Bila semula pengertian kemiskinan hanya ditekankan pada kurangnya pemilikan materi atau ketidak cukupan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan dasar, maka kini kemiskinan telah mengalami perluasan arti dengan menyentuh posisi individu dalam proses-proses perubahan sosial ekonomi serta akses dalam politik. Dengan kata lain, kalau pada pendekatan lama kemiskinan hanya didekati dari segi deprivasi dalam pendapatan/ konsumsi/ belanja, maka pendekatan baru menekankan pada deprivasi terhadap kemampuan sumber daya manusia seperti pengetahuan, standar kelayakan hidup, dan lebih menekankan lagi pada self reporting, self-sistem, partisipasi dan pemberdayaan.

Referensi:

Baswier, Revrisond, dkk. 1999. Pembangunan Tampa Perasaan. Pustaka Pelajar. Yogjakarta.

Darwin, Muhadjir.2005. Memanusiakan Rakyat: Penanggulangan Kemiskinan Sebagai Arus Utama Pembangunan. Benang Merah. Yogyakarta.

Soetrisno, Loekman. 1997. Kemiskinan, Perempuan dan Pemberdayaan. Kanisius. Yogjakarta.

Suharto, Edi. 2009. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat: Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial & Pekerjaan Sosial. Refika Aditama. Bandung.

Sulistiyani, Ambar, Teguh. 2004. Kemitraan dan Model-model Pemberdayaan. Gava Media Yogyakarta.

Suparta, dkk. 2009. Strategi Membangun Karangasem: Perspektif Mengentas Kemiskinan & Mengejar Ketertinggalan. Pustaka Nayottama. Denpasar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar