Senin, 26 Juli 2010

KEMISINAN DI KABUPATEN KARANGASEM PROVINSI BALI

Kemiskinan telah menjadi isu penting dalam pembangunan nasional bangsa Indonesia, Kabupaten Karangasem sebagai salah satu wilayah dalam Negara Kesatuan Republi Indonesia juga mengalami persoalan kemiskinan yang tentunya bisa di katakan ironis apabila dilihat dari posisi Kabupaten Karangasem ini berada di Provinsi Bali yang dikenal sebagai daerah destinasi pariwisata di Indonesia.
Berdasarkan Rumah Tangga Sasaran (RTS) penerima Bantuan Langsung Tunai ( BLT) Kabupaten Karangasem Tahun 2008 jumlah KK Miskin di Kabupaten Krangasem ternyata terbanyak di Bali, yakni 40.272 KK atau sebesar 39, 13% yang terdiri dari RTS sangat miskin 3.898 KK, Miskin 17.315 KK dan Hampir Miskin 19.059 KK . Namun, penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan jumlahnya mencapai 153.096 orang (35,8%). Dari delapan Kecamatan yang ada di Kabupaten Karangasem ternyata, sebagian besar penduduk karangasem tersebut ternyata terdapat di 4 Kecamatan yaitu Kecamatan Karangasem (84.806 orang atau 19,84%), Kecamatan Kubu (70,718 orang atau 16,54%), Kecamatan Abang (68.294 orang atau 15,98%), dan kecamatan Bebandem 948.989 orang atau 11,46%). Disisi lain keempat kecamatan tersebut termasuk daerah kering.
Kondisi alam yang kering, serta pola pemberdayaan masyarakat di empat kecamatan tersebut yang kurang jelas, berandil telah membuat masyarakat setempat mewariskan kemiskinan secara turun temurun. Faktor dominan penyebab kemiskinan adalah faktor alamiah, disamping faktor struktural dan kultural . kelemahan kultural mereka diakibatkan oleh faKtor lingkungan alam. Bila kelemahan structural tidak segera dipersiapkan dengan baik, maka sulit bagi masyarakat setempat untuk dapat berpartisipasi aktif dalam mengentaskan kemiskinan secara mandiri.
Terkait dengan fakta kemiskinan dan faktor penyebab kemiskinan di Kabupaten Karangasem maka diperlukan adanya strategi untuk mengatasi permasalahan kemiskinan di Kabupaten Karangasem ini, strategi tersebut akan dijabarkan lagi kedalam program-program baik jangka pendek maupun menengah/ panjang. Adapun strategi penanggulangan kemiskinan yang di rekomendasikan antara lain : Strategi Charitas, Strategi Produksi, Strategi Ekonomi, Strategi Perbaikan agroekosistem, Strategi Sosial Budaya , strategi pengembangan kelembagaan lokal, strategi pengembangan pertanian rakyat, strategi pengembangan agroindustri, strategi gender, strategi penyediaan permodalan, strategi pemberdayaan dan strategi pengembangan Kapasitas. Dengan adanya strategi dan program penanggulangan kemiskinan baik untuk jangka pendek maupun menengah/ panjang maka diharapkan tujuan untuk mengentaskan/ mengurangi kemiskinan di Kabupaten Karangasem dapat tercapai

Kamis, 08 Juli 2010

Globalisasi

Sebagai sebuah perkembangan sejarah, globalisasi adalah sebuah proses yang bisa dikatakan paling mempengaruhi hajat hidup orang banyak di dunia saat ini. Tidak ada satupun masyarakat yang tidak kena dampaknya. Ia mempengaruhi tingkat kesejahteraan, perilaku sosial, dinamika politik hingga cara kita makan, berpakaian, dan menikmati kehidupan. Pendek kata, hampir tidak ada sisi kehidupan yang tidak terjangkau oleh perkembangan globalisasi.

Globalisasi merupakan produk perkembangan ilmu pengetahuan, daya inovasi, dan teknologi yang semakin mengecilkan arti tapal batas politik dan geografi. Ia adalah hasil dari perubahan besar-perubahan besar di dunia finansial, manajemen perusahaan dan tata pemerintahan modern yang semakin terbuka dan demokratis namun pada tingkat fundamental globalisasi di didorong oleh sifat yang inheren pada diri manusia untuk selalu ingin lebih tahu, lebih ingin bebas, lebih maju dan lebih mampu berhubungan dengan manusia-manusia lainnya di tempat-tempat yang berbeda. Karena dampaknya yang besar itulah maka globalisasi menjadi sebuah topik yang sangat penting, menarik, dan menjadi salah satu bahan perbincangan dan perdebatan yang dominan di kalangan intelektual, kaum aktivis, politisi, maupun kaum usahawan dan dan manejer perusahaan di berbnagai belahan dunia.

Dalam mendefinisikan Globalisasi setidaknya terdapat tiga hal yang sering menjadi kunci yaitu: kesaling hubungan, integrasi, dan kesalingketerkaitan Lodge (1991) dalam Budi Winarno (2009:19) mendefinisikan globalisasi sebagai suatu proses yang menempatkan masyarakat dunia bisa menjangkau satu dengan yang lain atau saling terhubungkan dalam semua aspek kehidupan mereka, baik dalam budaya, ekonomi, politik, teknologi maupun lingkungan. Dengan pengertian yang demikian, maka globalisasi boleh dikatakan bahwa masyarakat dunia hidup dalam suatu era dimana sebagian besar kehidupan mereka sangat ditentukan oleh proses-proses global. Selain konsep kesaling hubungan, konsep kedua yang sering muncul dalam definisi-definisi globalisasi adalah integrasi. Seperti definisi yang yang dikemukakan oleh Amal (1992) bahwa globalisasi merupakan proses munculnya masyarakat global, yaitu suatu dunia yang terintegrasi secara fisik melampaui batas-batas negara, baik ideologis, dan lembaga-lembaga politik dunia.definisi ini lebih mirip dengan keyakinan kaum globalis yang memahami globalisasi sebagai terwujudnya sebuah ekonomi dunia yang terintegrasi. Bangsa-bangsa menurut pandangan ini, baik secara individual maupun secara kolektif, mendukung globalisasi dengan menghilangkan hambatan-hambatan terhadap perdagangan internasional, sehingga memudahkan arus perdagangan, investasi, mata uang, dan informasi secara bebas melintasi batas-batas nasional. Pengertian ini dengan demikian merujuk kepada pengertian yang luas mengenai globalisasi. Konsep yang ketiga adalah Interdepedensi. Definisi ini mencakup pengertian bahwa sistem ekonomi, khususnya sistem moneter, dunia saat ini sangat tergantung antara satu dengan yang lain. Akibatnya, kebijakan-kebijakan pada skala nasional tidak dapat begitu saja mengabaikan peristiwa-peristiwa di tingkat global. Demikia juga sebaliknya, peristiwa-peristiwa ditinbgkat nasional pada tataran tertentu akan berpengaruh pada ekonomi global. Kejatuhan mata uang Bath Thailand yang diikuti dengan kejatuhan mata uang di negara-negara lain, seperti Indonesia, Korea Selatan, Malaysia, dan Filipina, dalam kasus krisis keuangan di Asia satu dasawarsa yang lalu menjadi contoh yang dapat digunakan untuk menjelaskan konsep ini. Krisis ini jika tidak ditangani secara serius barangkali akan menimbulkan efek domino bagi negara-negara di kawasan lain. Ini terjadi karena kesalinghubungan (interconnection) antara sistem keuangan satu negara dengan sistem keuangan negara lainnya.

Di era sekarang ini istilah globalisasi telah menjadi konsep yang sering digunakan untuk menggambarkan dunia kontenporer. Memasuki millennium ketiga dunia berubah dengan sangat cepat sehingga menimbulkan inplikasi yang sangat kompleks yaitu munculnya kesalinghubungan, integrasi dan kesalingterkaitan dalam hampir seluruh dimensi kehidupan dalam hubungan antar negara bangsa (nation-state) dan hubungan transnasional (transnational relations). Perubahan-perubahan yang sangat cepat inilah kemudian disebut dengan globalisasi

Kontribusi Negatif Liberalisasi Sektor Keuangan di Indonesia

Pasca tumbangnya re­zim Orde Baru, struk­tur pengambil kebijakan ekonomi-politik di Indonesia tidak meng­alami perubahan yang berarti. Praktis para ekonom neo-liberal yang merupakan kelanjutan dari ekonom teknokrat Ma­fia Berkeley menjadi pe­nen­tu ke­bi­jakan ekonomi-politik di ta­nah air hingga saat ini. Sejak 1998, berdasarkan letter of intent (LoI) IMF (Dana Moneter International), lahirlah berbagai undang-undang (UU) yang sangat liberal, mulai dari sektor perban­kan, pasar modal, asuransi, sam­pai perpajakan. Libe­rali­sasi inilah yang memberikan kontribusi besar bagi praktik-praktik kejahatan kerah putih yang merugikan rakyat dan terus menghantui perjalanan bangsa ini ke depan.

Di sektor perpajakan, ber­bagai macam dugaan tindak penggelapan pajak dengan berbagai pola, seperti transfer pricing, penyalahgunaan restitusi pajak, atau kongkalikong antara aparat pajak dan wajib pajak, menyebabkan kerugian negara yang sulit diukur jumlahnya. Masih tersimpan da­lam memori publik daftar pan­jang berbagai temuan Ditjen Pajak, seperti kasus PT. Asian Agri senilai Rp 1,3 triliun, kasus transfer pricing PT. Adaro yang merugikan negara triliunan rupiah, kasus PT. Ma­kindo Rp 492 miliar, kasus Ra­mayana Rp 75 miliar, kasus Grup Bakrie Rp 2,1 triliun, dan kasus-kasus lainnya.

Dalam praktiknya, para pengusaha atau kelompok usaha yang ingin menghindar atau mengurangi kewajiban membayar pajak mendirikan perusahaan SPV (Special Purpose Vehicles) di luar negeri. Cara ini efektif baik secara legal ataupun ilegal untuk menghindarkan diri aparat pajak. Negara-negara dengan rezim pajak rendah (tax haven country) akan menjadi surga bagi pelaku usaha tersebut. Modus lain yang dilakukan untuk menghindar dari membayar pajak adalah membentuk sejumlah yayasan, baik yang bergerak di bidang pendidikan, kesehatan, kesejahteraan sosial, maupun keagamaan. Yayasan digunakan untuk melakukan pencucian uang dan menghindarkan diri dari pembayaran pajak kepada negara. Sejumlah yayasan yang terafiliasi dengan individu atau kelompok usaha besar melakukan praktik-praktik ini.

Sementara itu, di sektor perbankan, kejahatan kerah putih spektakuler yang hingga hari ini membebani dan menghantui perjalanan bangsa adalah kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan penyuntikan obligasi rekap senilai kurang lebih Rp 650 triliun. Sampai saat ini, masyarakat pembayar pajak harus rela jerih payahnya digunakan untuk membayar bunga ataupun utang. Jadi sederhananya, pajak masyarakat digunakan untuk mensubsidi investor atau pemegang saham Bank Mandiri, BRI, BNI, BCA, Bank Danamon, Bank Permata, dan lain-lain yang merupakan mantan pasien Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Berbagai kasus perbankan lain sebagai dampak liberalisasi sektor keuangan pernah mencuat di media massa, seperti cessie Bank Bali hampir Rp 1 triliun, L/C fiktif BNI Rp 1,7 triliun, kredit fiktif pengadaan kapal Bank Mandiri Rp 245 miliar, kasus Bank Global sekitar Rp 700 miliar, kasus Bank Indover triliunan rupiah, dan terakhir, yang kini menjadi sorotan publik, kasus Bank Century.

Melihat kontribusi negatif yang timbul sebagai akibat dari pelaksanan liberalisasi di sektor keuangan, maka sangat penting untuk mengevaluasi kebijakan tersebut disamping perlunya penciptaan sistem yang mampu mencegah kontribusi negatif yang muncul. Dengan demikian, diharapkan uang negara yang berasal dari rakyat dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat banyak bukannya untuk kepuasan-kepuasan pihak-pihak atau golongan tertentu yang memperoleh keuntungan sebagai akibat dari pelaksanaan agenda liberalisasi di sektor keuangan tersebut.

Selasa, 06 Juli 2010

Multidimensionalisme Kemiskinan

Sepanjang Abad 20 sampai dengan saat ini, kemiskinan masih merupakan salah satu masalah paling serius di belahan dunia manapun baik itu di negara-negara maju maupun negara-negara berkembang. Menurut Zastrow (Suharto,2008:239) di Amerika Serikat, salah satu negara industri maju dan terkaya di dunia, lebih dari 36 juta jiwa atau sekitar 14 persen dari total populasinya ternyata masih hidup di bawah garis kemiskinan. Dengan kata lain, sekitar satu dari dari tujuh warga Amerika adalah miskin. di sisi lain gambaran kemiskinan di negara berkembang jauh lebih suram lagi. saat ini, diseantero jagat terdapat sekitar 2,8 milyar orang yang hidup kurang dari 2 Dollar AS per hari. Seorang bayi perempuan yang lahir di Jepang saat ini memiliki 50 persen kemungkinan untuk menatap abad ke-22, sedangkan 1 (satu) dari 4 (empat) bayi yang baru lahir di Afganistan kemungkinan besar tidak akan pernah merayakan ulang tahunnya yang 5 (kelima). Setiap hari lebih dari 300.000 anak-anak diseluruh dunia wafat, tepatnya ‘dipaksa’ wafat, oleh penyakit yang bisa dicegah dan hampir 40.000 orang terinfeksi HIV/AIDS. Sebagian besar dari mereka berasal dari negara-negara berkembang. Beranjak dari kondisi-kondisi tersebut, dapat dikatakan permasalahan kemiskinan merupakan suatu permasalahan yang krusial dimana, keberadaanya bukan merupakan sesuatu hal yang baru melainkan sudah ada sejak lama dan masih ada disekitar kita sampai saat ini.

Sejalan dengan keberadaan kemiskinan tersebut, berkembang pula pembahasan-pembahasan terkait dengan konsep-konsep kemiskinan. Secara umum walaupun pembahasan-pembahasan terkait dengan permasalahan kemiskinan sudah sejak lama ada dan berkembang, namun sampai saat ini belum ditemukan satu definisi yang secara konprehensif menggambarkan kemiskinan tersebut secara lengkap. Hal ini karena kemiskinan itu sendiri yang bersifat multidimensional, sehingga dalam menjelaskan fenomena kemiskinan juga menggunakan pisau analisis dari berbagai dimensi. Hal ini sejalan dengan pandangan Suharto (2009:132) yang menyatakan bahwa kemiskinan merupakan konsep dan fenomena berwayuh wajah, bermatra multidimensional.

Apabila dilihat dari dimensi karakteristik yang melekat pada kemiskinan tersebut dapat disebutkan bahwa masyarakat miskin umumnya lemah dalam kemampuan berusaha dan mempunyai akses yang terbatas terhadap kegiatan sosial ekonomi, pendidikan, maupun kesehatan (Suparta, dkk, 2009:193). Pandangan tersebut secara tidak langsung menggambarkan bahwa kemiskinan tersebut identik dengan ketidak berdayaan dan ketiadaan akses. Disisi lain, Chambers (dalam Soetrisno, 1997:18) setelah mempelajari berbagai masalah kemiskinan, akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa inti dari masalah kemiskinan terletak pada apa yang disebutnya sebagai deprivation trap atau jebakan kekurangan. Lebih lanjut, Chambers menjelaskan bahwa deprivation trap itu terdiri dari 5 (lima) ketidak beruntungan yang melekat dalam kehidupan keluarga miskin, yaitu: (1) kemiskinan itu sendiri; (2) kelemahan fisik, (3) keterasingan; (4) kerentanan dan (5) ketidak berdayaan. Dari kelima poin tersebut Chambers memberikan tekanan pada dua jenis ketidak beruntungan yang menurutnya harus mendapat perhatian, yakni kerentanan (vulnerability) dan ketidak berdayaan (powerless). Ini karena kedua jenis ketidak beruntungan ini seringkali menjadi penyebab keterpurukan keluarga miskin yang lebih parah dan akut. Dari konsep-konsep kemiskinan yang terkait dengan karakteristik yang melekat pada kemiskinan sebagaimana dikemukakan oleh Suparta, dkk, Chambers tersebut dapat disimpulkan bahwa kemiskinan merupakan suatu permasalahan sosial yang ditandai dengan kerentanan (vulnerability), ketidak berdayaan (powerless) dan ketiadaan akses.

Dari sudut yang lain, fenomena kemiskinan dapat kita tinjau dari penyebab yang memunculkan kondisi kemiskinan itu. Berdasarkan penyebabnya, kemiskinan dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori yaitu: (1) kemiskinan natural; (2) kemiskinan kultural; dan (3) kemiskinan struktural (Baswier, 1999; Saptana dan Darwis (Suparta, dkk, 2009)). Kemiskinan natural adalah keadaan kemiskinan yang disebabkan oleh keterbatasan alamiah, baik pada segi sumber daya manusia maupun sumberdaya alamnya seperti: konsisi geografis yang kering, tandus, kekurangan air, curah hujan yang rendah, sering terjadi bencana alam. Kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh faktor-faktor kebudayaan, yang menyebabkan terjadinya proses pelestarian kemiskinan di dalam masyarakat seperti: kebijakan dengan nilai-nilai sosial budaya yang tidak produktif, tingkat pendidikan yang rendah, kondisi kesehatan dan gizi yang buruk, kurang berkembangnya jiwa kewirausahaan, serta prilaku dan kepribadian secara umum. Sedangkan kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh faktor-faktor buatan manusia seperti: (1) Kurangnya demokrasi, sehingga mengurangi partisipasi, (2) kurangnya akses dan kontrol terhadap sumberdaya, (3) ketimpangan akumulasi dan distribusi asset produktif baik lahan maupun modal, (4) kebijakan berorientasi memenuhi pasar asing dari pada pasar domestik, (5) pengikisan peran pemerintah dalam meminimalkan ketimpangan sosial dan swastanisasi yang berlebihan, (6) ekploitasi berlebihan terhadap SDA yang berdampak kepada orang miskin, dan (7) kebijakan-kebijakan yang menyebabkan polarisasi masyarakat.

Memandang penyebab kemiskinan hanya dalam 3 (tiga) kategori sebagaimana disebutkan diatas tentunya akan menyebabkan kemiskinan terkurung dalam pandangan simplistik karena dalam kenyataannya kemiskinan disebabkan oleh banyak faktor yang saling kait mengkait. Sejalan dengan karakter multidimensional dari kemiskinan, dengan menggunakan perspektif yang lebih luas David Cox seorang pakar kemiskinan, kemudian membagi kemiskinan kedalam beberapa dimensi, yakni:

a. Kemiskinan akibat Globalisasi. Globalisasi telah melahirkan pemenang dan yang kalah. Yang pemenang adalah Negara-negara maju. Sedangkan Negara-negara berkembang atau dunia ketiga tidak jarang semakin tersisihkan oleh persaingan dan pasar bebas yang menjadi syarat globalisasi.

b. Kemiskinan yang berkaitan dengan pembangunan. Kemiskinan subsisten (kemiskinan karena rendahnya pembangunan), kemiskinan pedesaan (kemiskinan karena marjinalisasi warga di daerah rural pada proses pembangunan), kemiskinan urban (kemiskinan yang diakibatkan oleh hakekat dan akselerasi pertumbuhan kota).

c. Kemiskinan Sosial. Kemikinan yang dialami oleh kaum wanita, anak-anak, dan kelompok marjinal;

d. Kemiskinan Konsekuensial. Hal ini berarti kemiskinan yang terjadi akibat faktor-faktor eksternal di luar kaum miskin. Misalnya jumlah penduduk, konflik, bencana alam, dan kerusakan lingkungan. (Suharto, 2009:132-133).

Sementara itu Ellis (Suharto, 2009:133) menyatakan bahwa dimensi kemiskinan menyangkut aspek ekonomi, politik dan sosial psikologis. Secara ekonomi kemiskinan dapat didefinisikan sebagai kekurangan sumberdaya yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraan sekelompok orang. Sumberdaya dalam konteks ini menyangkut tidak hanya aspek finansial, melainkan pula menyangkut semua jenis kekayaan (wealth) yang dapat meningkatkan kesejahteraan dalam artu luas.

Secara politik, kemiskinan dapat dilihat dari tingkat akses terhadap kekuasaan (power). kekuasaan dalam pengertian ini mencakup tatanan sistem politik yang dapat menentukan kemampuan sekelompok orang dalam menjangkau dan menggunakan sumberdaya. Ada tiga pertanyaan mendasar yang terkait dengan akses terhadap kekuasaan ini, yaitu (a) bagaimana orang dapat memamfaatkan sumberdaya yang ada dalam masyarakat, (b) bagaimana orang dapat turut ambil bagian dalam pembuatan keputusan, dan (c) bagaimana kemampuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan masyarakat. Dalam konteks politik ini Friedman (Suharto, 2009:134-135) mendefinisikan kemiskinan dalam kaitannya dengan ketidaksamaan kesempatan dalam mengakumulasikan basis kekuasaan sosial yang meliputi: (a) modal produktif atau asset (tanah, perumahan, alat produksi, kesehatan), (b) sumber keuangan (pekerjaan, kredit), (c) organisasi sosial dan politik yang dapat digunakan untuk mencapai kepentingan bersama (koprasi, partai politik, organisasi sosial), (d) jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang dan jasa, (e) pengetahuan dan keterampilan, dan (f) imformasi yang berguna bagi kemajuan hidup.

Sedangkan secara sosio-psikologis menunjuk pada kekurangan jaringan dan struktur sosial yang mendukung dalam mendapatkan kesempatan-kesempatan meningkatkan produktivitas. Dimensi kemiskinan ini juga dapat diartikan sebagai kemiskinan yang disebabkan oleh adanya faktor-faktor penghambat yang mencegah atau merintangi seseorang dalam memanfaatkan kesempatan-kesempatan yang ada di masyarakat. Faktor-faktor penghambat tersebut secara umum meliputi faktor internal dan eksternal. Faktor internal dating dari dalam diri simiskin itu sendiri, seperti rendahnya pendidikan atau adanya hambatan budaya. Sedangkan, faktor eksternal dating dari luar kemampuan orang yang bersangkutan, seperti birokrasi atau peraturan-peraturan resmi yang dapat menghambat seseorang dalam memanfaatkan sumberdaya.

Dimensi lain yang juga krusial dalam pembahasan masalah kemiskinan adalah menyangkut persoalan kriteria kemiskinan yang sebaiknya dipergunakan. Sedangkan untuk menentukan kriteria kemiskinan sangat terikat dengan sudut pandang yang dipergunakan dalam melihat kemiskinan itu. Tjokrowinoto melihat kemiskinan sebagai persoalan yang bersifat multidimensional, Molo (1985) mengatakan bahwa kemiskinan adalah konsep yang bersifat relatif, tidak memiliki standard baku. Berbeda dengan kedua pendapat diatas, Townsend (1970) membagi konsep kemiskinan menjadi tiga yaitu: kemiskinan absolut, kemiskinan relatif dan kemiskinan subyektif. Kemiskinan absolut dirumuskan dengan membuat ukuran tertentu yang konkret (a fix yardstick) berorientasi pada kebutuhan dasar. Konsep kemiskinan relatif dirumuskan berdasarkan the idea of relative standard, yaitu dengan memperhatikan dimensi tempat dan waktu, yang berorientasi pada derajad kelayakan hidup suatu masyarakat tertentu. Sedangkan konsep kemiskinan subyektif dirumuskan berdasarkan perasaan kelompok miskin itu sendiri. Dari pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh Tjokrowinoto, Molo dan Townsend tersebut, tampaknya konsep kemiskinan yang bersifat multidimensional lebih sesuai dengan kondisi kemiskinan yang melanda Indonesia dewasa ini. (Sulistiyani, 2004: 32-34).

Berdasarkan pembahasan-pembahasan terkait dengan karakteristik, faktor-faktor penyebab beserta dimensi-dimensi kemiskinan diatas dapat disimpulkan bahwa kemiskinan pada dasarnya merupakan suatu permasalahan yang krusial dan bersifat multidimensional. Multidimensionalisme kemiskinan ini telah menyebabkan tidak adanya satu konsep pasti yang dapat menjelaskan fenomena kemiskinan secara komprehensif. Disamping telah menyebabkan terjadinya perubahan pendekatan dalam memahami kemiskinan. Menurut Darwin (2005:1) pendekatan dalam memahami kemiskinan telah banyak mengalami kemajuan. Bila semula pengertian kemiskinan hanya ditekankan pada kurangnya pemilikan materi atau ketidak cukupan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan dasar, maka kini kemiskinan telah mengalami perluasan arti dengan menyentuh posisi individu dalam proses-proses perubahan sosial ekonomi serta akses dalam politik. Dengan kata lain, kalau pada pendekatan lama kemiskinan hanya didekati dari segi deprivasi dalam pendapatan/ konsumsi/ belanja, maka pendekatan baru menekankan pada deprivasi terhadap kemampuan sumber daya manusia seperti pengetahuan, standar kelayakan hidup, dan lebih menekankan lagi pada self reporting, self-sistem, partisipasi dan pemberdayaan.

Referensi:

Baswier, Revrisond, dkk. 1999. Pembangunan Tampa Perasaan. Pustaka Pelajar. Yogjakarta.

Darwin, Muhadjir.2005. Memanusiakan Rakyat: Penanggulangan Kemiskinan Sebagai Arus Utama Pembangunan. Benang Merah. Yogyakarta.

Soetrisno, Loekman. 1997. Kemiskinan, Perempuan dan Pemberdayaan. Kanisius. Yogjakarta.

Suharto, Edi. 2009. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat: Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial & Pekerjaan Sosial. Refika Aditama. Bandung.

Sulistiyani, Ambar, Teguh. 2004. Kemitraan dan Model-model Pemberdayaan. Gava Media Yogyakarta.

Suparta, dkk. 2009. Strategi Membangun Karangasem: Perspektif Mengentas Kemiskinan & Mengejar Ketertinggalan. Pustaka Nayottama. Denpasar.

Globalisasi, Negara Vs Pasar Dan Good Governance

Globalisasi dengan segala aspeknya yang berkembang sekarang ini telah menimbulkan tantangan bagi negara-negara di dunia, terlebih, bagi pemimpin negara-negara dunia ke tiga, yang meliputi, pertama, gerakan kearah demokratisasi politik sebagai akibat semakin menyebarnya gagasan demokratisasi ke seluruh dunia, dan kedua, tekanan terhadap ekonomi nasional yang semakin kuat, bagaimanapun tantangan ini harus direspon dan dikelola dengan baik oleh negara-negara di dunia. Dalam perkembangan selanjutya untuk menjawab tantangan ini, sebagian besar negara telah melakukan reformasi di sektor publik yang lebih sering di kenal dengan istilah re-engineering atau reinventing government (lihat, misalnya, Osborn and Gaebler, 1992). Meskipun masing-masing negara nasional di dunia mempunyai variansi dalam melakukan reformasi tadi, tetapi biasanya semuanya mempunyai ciri-ciri umum, yakni pengakuan adanya suverioritas pasar, penolakan terhadap peran negara yang terlalu dominan, pengurangan aktifitas di sektor publik, penggunaan prinsip-prinsip pasar dalam pelayanan, penggunaan prinsip-prinsip bisnis dalam pengelolaan manajemen publik, dan titik berat pada usaha-usaha untuk memuaskan pelanggan (Haque,2004:227) .

Munculnya agenda good governance, yang dalam konteks Indonesia semakin populer sejak masa reformasi, juga bisa dilihat sebagai usaha untuk menjawab tantangan tersebut. ketika lingkungan eksternal mengalami perubahan akibat globalisasi ekonomi yang berlangsung dalam skala masif, sementara sistem terdahulu tidak lagi dapat diandalkan untuk menjawab tantangan tersebut, maka salah satu penyelamatannya adalah dengan menciptakan suatu sistem pengelolaan yang lebih baik, yaitu suatu good governance.

Disisi lain Globalisasi telah melahirkan dua pandangan yang saling berlawanan satu dengan yang lainnya, yakni antara pandangan kaum neoliberal yang sangat getol mendukung pasar bebas dan kelompok yang menentang atau skeptis terhadap globalisasi. Pertarungan antara dua kelompok ini kemudian lebih dikenal sebagai bentuk pertarungan negara vs pasar.

Barangkali jalan tengah yang paling baik antara apakah sebuah negara akan menuju kearah kedaulatan pasar ataukah menuju kearah kedaulatan negara dalam menjalankan roda ekonomi adalah mencari titik imbang antara keduanya. Dalam konteks ini, negara dan pasar harus diberi peran sama penting dengan tidak menegasikan satu dengan yang lain. Pandangan-pandangan kaum neoliberal mengenai berakhirnya era negara bangsa tampaknya memang sulit dicari relevansinya dalam tataran empiris, sementara pasar yang benar-benar sempurna juga tidak mungkin kita temukan. Oleh karena itu menyeimbangkan peran negara dan pasar menjadi salah satu alternatif terbaik dalam menjawab persoalan-persoalan yang kini dihadapi negara bangsa dalam globalisasi ekonomi.

Good Governance sebagai salah satu wujud dalam menjawab tantangan Globalisai terbangun dari tiga pilar utama yaitu negara atau pemerintah (state), dunia usaha atau pihak swasta (private sector), dan masyarakat (society).Di era globalisasi sekarang ini dimana terjadi pertempuran antara negara dan pasar dalam pembagian peran yang efektif dan efisien untuk mewujudkan cita-cita pembangunan,diikuti juga oleh problematika good governance yang dihadapkan pada bentuk pembagian peran antar pilar-pilar utama sehingga good governance sebagai model governance yang baik bisa menjadi pendukung untuk mencapai tujuan pembangunan, dalam konteks ini pola hubungan pembagian peran yang seimbang antara pilar-pilar pendukung governance (state, private sector, and society) hendaknya berada dalam pola seimbang dalam artian tidak ada satu pilarpun yang saling mendominasi sehingga good governance dapat diarahkan untuk mewujudkan tujuan pembangunan dalam mencapai kesejahteraan dan kemakmuran.

Dari uraian tersebut di atas dapat disebutkan bahwa tantangan Globalisasi harus dijawab dengan pembagian peran yang sama penting antara negara dan pasar serta adanya pola hubungan yang seimbang antara pilar-pilar good governance, sehingga apabila tantangan tersebut di jawab dengan baik maka globalisasi bisa menjadi salah satu peluang untuk mencapai tujuan pembangunan untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran.