Senin, 09 Agustus 2010

Governance

Ide Governance dan Good Governance dari IMF dan World Bank ternyata mengusik perhatian para ilmuan politik, yang mendorong mereka untuk mengelaborasikan konsep Governance, untuk menandai cara pandang baru pemerintahan. Disinilah mulai lahir perspektif institusionalisme baru yang mulai menggeser perhatian dari Government ke governance. Dulu ilmu politik hanya mengenal istilah Government (pemerintah), sebagai badan-badan yang menyelenggarakan pemerintahan. Sebelum tahun 1990-an, ilmu politik banyak mencurahkan perhatian pada beberapa persoalan, bagaimana pemerintah dibentuk dan diubah, bagaimana pemerintah memerintah terhadap rakyatnya, bagaimana menjalankan kewenangan samapai mengambil keputusan. Secara empirik, pemerintahan (lama) itu sangat identik dengan kekuasaan, penguasaan, kewenangan, dominasi, pemaksaan, pemusatan, dan lain-lain. Pemerintah dipahami sebagai institusi raksasa yang menggunakan kewenangannya secara memakasa atas seluruh wilayah dan penduduk, serta mengontrol pengaruh internasional atas kebijakan domestik dan institusinya. Pemerintah adalah segala-galanya (omnipoten) dan mahakuasa yang secara langsung dirasakan oleh masyarakat.

Dalam perkembangan selanjutnya pada dekade 1990-an, sejumlah pandangan baru terhadap pemerintah bermunculan, meskipun secara empirik pemerintah belum berubah. Menyusul gerakan yang memotong peran negara (demokratisasi, desentralisasi, debirokratisasi, deregulasi, reformasi birokrasi, privatisasi, reinventing government dan lain-lain). Pada tahun 1990-an para ilmuan politik mempertanyakan dan memikirkan kembali peran pemerintah. Dalam konteks ini berkembanglah pemikiran baru ideal tentang apa itu pemerintah(an), apa yang dilakukan oleh pemerintah, peran pemerintah dalam masyarakat, pandangan baru pada isu-isu abadi tentang bagaimana pemerintah yang terpilih dan bertanggungjawab memainkan peran fasilitasi dalam masyarakat , dan sebagainya.

Munculnya istilah governance sekarang mendorong para ilmuan politik untuk sekedar memperhatikan pemerintah sebagai lembaga, melainkan pemerintahan juga sebagai proses multi arah, yaitu proses memerintah yang melibatkan pemerintah dengan unsur-unsur diluar pemerintah. Governance adalah bentuk interaksi antara negara dan masyarakat sipil. Dalam Kamus Bahasa Inggris-Indonesia tampaknya tidak dijumpai sama sekali konsep governance. Kamus Webster juga tidak membantu banyak, yang menyebutkan bahwa governance adalah sinonim dengan Government (pemerintah), yang berarti tindakan atau proses memerintah, terutama perintah dan control pemegang kekuasaan, interpretasi ini merujuk pada tindakan dan fungsi cabang-cabang eksekutif dan sebuah pertanyaan bagaimana pemerintahan bisa berjalan dengan efektif?

Governance tidak sama dengan government (pemerintah) dalam arti sebagai lembaga, tetapi governance adalah proses kepemerintahan dalam arti yang luas. John Pierre dan Guy Petters, misalnya memahami governance sebagai konteks hubungan antar sistem politik dengan lingkungannya, dan mungkin melengkapi sebuah proyek yang membuat ilmu politik mempunyai relevansi dengan kebijakan publik.

Disisi lain Rosenau (1992;4) menyatakan bahwa harus dipahami bahwa governance tidak sama dengan government , meskipun keduanya merujuk pada prilaku bertujuan (purposive behavior), kegiatan yang berorientasi tujuan (to goal-oriented activities), dan berkenaan dengan sistem hukum (sytem of rule), tetapi prilaku pemerintah (government) biasanya di dukung oleh kekuasaan (authority) formal guna menjamin implementasi kebijakan, sedangkan governance lebih diarahkan pada aktivitas yang didukung oleh persamaan tujuan (atau shared goal, tujuan bersama) yang mungkin berasal atau tidak berasal dari kekuasaan legal.

Definisi yang lain menyebutkan bahwa governance adalah the process of decision-making and the process by wichdecisions are implemented (or not implemented) (www.unescap.org). oleh karena governance dipahami sebagi proses pembuatan keputusan dan bagaimana keputusan tersebut diimplementasikan, maka governance dapat di implementasikan dalam beberapa konteks yang berbeda, seperti corporate governance, international governance, national governance, dan local governance.

Perspektif baru tentang pemerintah-perubahan peran pemerintah dalam masyarakat dan kemampuannya mewujudkan kepentingan bersama di bawah batasan internal maupun eksternal merupakan jantung governance. Intinya adalah melibatkan masyarakat dalam menyelenggarakan pemerintahan. Tetapi governance masih merupakan istilah yang membingungkan, ia menjadi konsep payung bagi sejumlah fenomena yang beragam seperti jaringan kerja kebijakan, manajemen publik, koordinasi sector-sektor ekonomi kemitraan sektor public dan swasta, pemerintahan wirausaha, dan good overnance sebagai tujuan reformasi.

Bank Dunia (1989), misalnya, mendefinisikan governance sebagai tindakan pemegang kekuasaan untuk mengelola urusan-urusan nasional. Governance bisa juga diartikan sebagai pengelolaan struktur rezim dengan sebuah pandangan untuk memperkuat legitimasi penyelenggaran kekuasaan di mata kehidupan publik (Heyden, 1992). Legitimasi merupakan variable tergantung yang dihasilkan oleh governance yang efektif tergantung pada legitimasi yang bersandar pada partisipasi, keterbukaan dan akuntabilitas. Ford Foundation secara terbuka mendorong penguatan institusi-institusi demokrasi, peningkatan partisipasi kelompok marginal, dan membuat pelayanan publik tanggap pada kebutuhan lapisan masyarakat miskin. Lembaga ini percaya bahwa pemerintah harus dikontrol oleh warga negara yang aktif dan terorganisir.

Goran Hyden (1992) secara konprehensif mengidentifikasikan 3 (tiga) dimensi besar dalam konteks governance, yaitu dimensi aktor, dimensi struktural, dan dimensi empirik. Dimensi aktor mencakup kekuasaan, kewenangan, resiprositas dan pertukaran. Dimensi struktural mencakup elemen-elemen seperti ketulusan (compliance), trust (kepercayaan), akuntabilitas dan inovasi.interaksi antara dimensi aktor dan dimensi dimensi struktural itu menghasilkan apa yang disebut Hyden sebagai bidang governance. Bidang governance, menurut Hyden, dihasilkan oleh relasi politik antara resiprositas dan kewenangan serta antara kepercayaan dan akuntabilitas. Tentu saja relasi politik itu melibatkan antara penyelenggara kekuasaan (pemerintahan) dengan actor-aktor sosial di luar negara yang begitu luas. Dimensi empiric governance mencakup 3 (tiga) elemen utama, yaitu pengaruh warga negara, resiprositas sosial serta kepemimpinan yang responsive dan bertanggung jawab. Pengaruh warga negara bisa diukur dari tingkat partisipasi politik, perangkat artikulasi dan agregasi serta metode akuntabilitas publik. Kepemimpinan yang responsif dan bertanggungjawab menunjuk pada sikap pemimpin politik pada perannya sebagai kepercayaan publik. Indikatornya mencakup: tingkat penghormatan pemimpin pada publik; tingkat keterbukaan pembuatan kebijakan publik dan tingkat ketaatan pada rule of law. Sedangkan resiprositas sosial menunjuk pada derajat kesetaraan politik dalam masyarakat, tingkat toleransi antarkelompok dan tingkat keterbukaan dalam organisasi-organisasi sosial (apakah setiap organisasi sosial bersifat inklusif).

Dengan berpijak pada studi Hyden di atas, Michael Bratton dan Donald Rothchild (1992) membuat ringkasan tentang makna Governance:

a. Governance adalah sebuah pendekatan konseptual yang bisa memberi kerangka bagi analisis komparatif pada level politik makro.

b. Governance sangat menaruh perhatian pada pertanyaan besar tentang hakekat konstitusional yang mengabadikan aturan main politik.

c. Governance mencakup intervensi kreatif oleh aktor-aktor politik pada perubahan struktural yang menghalangi pengembangan potensi manusia.

d. Governance adalah sebuah konsep yang menekankan hakekat interaksi antara negara dan aktor-aktor sosial serta di antara aktor-aktor sosial sendiri.

e. Governance menunjuk pada tipe khusus hubugan antara aktor-aktor politik yang menekankan aturan main bersama dan sanksi-sanksi sosial ketimbang kesewenang-wenangan.

Dari uraian di atas tampaknya sudah jelas bahwa Governance lebih dari sekadar pemerintah atau pemerintahan. Pemerintah adalah sebuah institusi yang mempunyai kekuasaan dan kewenangan, yang dulu dipandang oleh pendekatan berpusat pada negara, sangat omnipotent di hadapan masyarakat. Pemerintah adalah segala-galanya, demikian pandangan tersebut. Tetapi mulai awal tahun 1990-an, pandangan yang menempatkan pemerintah sebagai kekuatan yang omnipotent sudah kehilangan pengaruh. Sekarang semangatnya adalah Governance, meskipun pemerintah sebagai institusi tidak ditinggalkan begitu saja. Dalam konteks ini, Governance dipahami sebagai proses interaksi atau jaringan antara pemerintah dengan aktor-aktor sosial di luar pemerintah.

Bagaimanapun pemerintah tetap memegang peranan yang sangat penting dalam proses Governance. Pemerintah bertugas merumuskan rangkaian tujuan proses memerintah. Sebagai institusi yang berwenang mengalokasikan nilai-nilai ke dalam masyarakat, pemerintah memainkan peranan merumuskan kebijakan publik berdasarkan keinginan dan tuntutan dari masyarakat. Pemerintah juga bertanggungjawab dalam proses implementasi kebijakan, terutama bertanggungjawab dalam hal hasil dan dampaknya terhadap masyarakat. Dalam arena masyarakat yang kompetiitif dan kompleks, kehadiran pemerintah sangat dibutuhkan sebagai fasilitator, yakni memudahkan atau menjembatani permainan aktor-aktor politik dan ekonomi dalam masyarakat. Sementara masyarakat berpartisipasi secara aktif dalam proses governance. Masyarakat bisa menyalurkan keinginan dan tuntutannya kepada pemerintah. Masyarakat ikut terlibat dalam proses pembuatan keputusan dan sekaligus sebagai pelaksana utama kebijakan tersebut.