Pasca tumbangnya rezim Orde Baru, struktur pengambil kebijakan ekonomi-politik di Indonesia tidak mengalami perubahan yang berarti. Praktis para ekonom neo-liberal yang merupakan kelanjutan dari ekonom teknokrat Mafia Berkeley menjadi penentu kebijakan ekonomi-politik di tanah air hingga saat ini. Sejak 1998, berdasarkan letter of intent (LoI) IMF (Dana Moneter International), lahirlah berbagai undang-undang (UU) yang sangat liberal, mulai dari sektor perbankan, pasar modal, asuransi, sampai perpajakan. Liberalisasi inilah yang memberikan kontribusi besar bagi praktik-praktik kejahatan kerah putih yang merugikan rakyat dan terus menghantui perjalanan bangsa ini ke depan.
Di sektor perpajakan, berbagai macam dugaan tindak penggelapan pajak dengan berbagai pola, seperti transfer pricing, penyalahgunaan restitusi pajak, atau kongkalikong antara aparat pajak dan wajib pajak, menyebabkan kerugian negara yang sulit diukur jumlahnya. Masih tersimpan dalam memori publik daftar panjang berbagai temuan Ditjen Pajak, seperti kasus PT. Asian Agri senilai Rp 1,3 triliun, kasus transfer pricing PT. Adaro yang merugikan negara triliunan rupiah, kasus PT. Makindo Rp 492 miliar, kasus Ramayana Rp 75 miliar, kasus Grup Bakrie Rp 2,1 triliun, dan kasus-kasus lainnya.
Dalam praktiknya, para pengusaha atau kelompok usaha yang ingin menghindar atau mengurangi kewajiban membayar pajak mendirikan perusahaan SPV (Special Purpose Vehicles) di luar negeri. Cara ini efektif baik secara legal ataupun ilegal untuk menghindarkan diri aparat pajak. Negara-negara dengan rezim pajak rendah (tax haven country) akan menjadi surga bagi pelaku usaha tersebut. Modus lain yang dilakukan untuk menghindar dari membayar pajak adalah membentuk sejumlah yayasan, baik yang bergerak di bidang pendidikan, kesehatan, kesejahteraan sosial, maupun keagamaan. Yayasan digunakan untuk melakukan pencucian uang dan menghindarkan diri dari pembayaran pajak kepada negara. Sejumlah yayasan yang terafiliasi dengan individu atau kelompok usaha besar melakukan praktik-praktik ini.
Sementara itu, di sektor perbankan, kejahatan kerah putih spektakuler yang hingga hari ini membebani dan menghantui perjalanan bangsa adalah kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan penyuntikan obligasi rekap senilai kurang lebih Rp 650 triliun. Sampai saat ini, masyarakat pembayar pajak harus rela jerih payahnya digunakan untuk membayar bunga ataupun utang. Jadi sederhananya, pajak masyarakat digunakan untuk mensubsidi investor atau pemegang saham Bank Mandiri, BRI, BNI, BCA, Bank Danamon, Bank Permata, dan lain-lain yang merupakan mantan pasien Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Berbagai kasus perbankan lain sebagai dampak liberalisasi sektor keuangan pernah mencuat di media massa, seperti cessie Bank Bali hampir Rp 1 triliun, L/C fiktif BNI Rp 1,7 triliun, kredit fiktif pengadaan kapal Bank Mandiri Rp 245 miliar, kasus Bank Global sekitar Rp 700 miliar, kasus Bank Indover triliunan rupiah, dan terakhir, yang kini menjadi sorotan publik, kasus Bank Century.
Melihat kontribusi negatif yang timbul sebagai akibat dari pelaksanan liberalisasi di sektor keuangan, maka sangat penting untuk mengevaluasi kebijakan tersebut disamping perlunya penciptaan sistem yang mampu mencegah kontribusi negatif yang muncul. Dengan demikian, diharapkan uang negara yang berasal dari rakyat dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat banyak bukannya untuk kepuasan-kepuasan pihak-pihak atau golongan tertentu yang memperoleh keuntungan sebagai akibat dari pelaksanaan agenda liberalisasi di sektor keuangan tersebut.
1xbet korean - Sports betting | Top tipster in the world
BalasHapus1xbet korean - Sports betting | Top tipster in the world. 1xbet korean - Sports betting | Top tipster in the world. 1xbet korean - Sports 바카라 사이트 betting | Top tipster in the world. septcasino 1xbet korean - Sports betting | Top tipster in 1xbet the world.